0878 8077 4762 [email protected]

Sabarnya Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz

Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia sangat mungkin mendapat penghinaan atau celaan dari orang bodoh.
Orang berakal tentu tidak akan menjatuhkan diri ke dalam posisi mereka. Ia akan tetap santun dan pemaaf tidak mudah diprovokasi dan tidak berpikir untuk membela diri.
Dalam kondisi-kondisi semacam inilah sikap sabar dan pemaaf seseorang diuji.
Pada suatu malam, khalifah Umar ibn Abdul Aziz ra keluar rumah ditemani oleh sejumlah pengawal. Ia masuk ke dalam mesjid.
Dalam kondisi gelap ia melewati seseorang yang sedang tidur, hingga tanpa disengaja terjatuh di atas tubuhnya.
Orang itupun mengangkat kepala seraya berkata, “Apa engkau gila?”
“Tidak,” ujar khalifah Umar.
Menyaksikan hal tersebut para pengawal hendak menindak orang tadi.
Namun khalifah Umar mencegahnya dan berkata kepada mereka, “Ia hanya bertanya, ‘Apakah engkau gila?’
Maka kujawab, ‘Tidak.’”

Sabar dan Syukur

Kata ulama, sabar ada di tiga hal yaitu sabar dalam menaati perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan sabar ketika menerima musibah.
Sabar dalam taat sebab terkadang ibadah terasa berat, keshalihan terasa menyesakkan ditengah kesibukan. Sabar dalam jauhi maksiat sebab ia terlihat asyik, kedurhakaan cantik/tampan untuk dekati zina. Tetapi syukurlah, iman itu rasa malu pada-Nya. Sabar dalam menghadapi musibah sebab ia niscaya iman didada, syukurlah dosa gugur dan setelah kesulitan ada kemudahan.
Hai hamba-hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Q.S. Az Zumar : 10
Iman menuntun peka hati dalam memilih bentuk sabar sekaligus syukur atas segala wujud ujian cinta dari-Nya. Takwa bawa sabar kita yang mengundang syukur, jalan keluar dari masalah dan rezeki yang tak terduga.
Tiap nikmat yang disyukuri jua berpeluang mengundang musibah yang harus disabari, seperti tampannya Yusuf dan cinta Ya’qub padanya. Lihatlah Ayyub bersyukur atas segala sakit dan musibah dirinya, sebab Allah menggugurkan dosa dan membuat mengingatNya. Lihatlah Sulaiman bersabar atas tahta kemaharajaan atas jin, hewan, dan manusia agar tak tergelincir seperti Fir’aun.
Maka sabar dan syukur adalah wahana yang membawa hamba merasakan iman dalam dada. Tak henti untuk sabar dan syukur sebab ia menghubungkan kita dengan-Nya hingga hidup terasa surga sebelum surga.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Bentuk Sabar

Sabar itu tanpa batas, sebab pahalanya pun tak terhingga (lihat surat Az Zumar ayat 10). Hanya saja bentuk kesabaran bisa dipilih dan disiasati. Contoh memilih bentuk : menunda nikah dan menjaga kesucian itu sabar.
Maryam beroleh anugerah mulia tanpa disentuh pria itu sabar. Asiyah bersuamikan durjana Fir’aun yang menyejarah, itu sabar.
Musa memberi minum ternak dan mengabdi lama sebelum nikahnya, itu sabar. Muhammad Al Amin berakhlak mulia tapi tetap didustakan, dia juga sabar.
Mari bersabar dengan kesabaran yang jelita seperti kesabaran Ya’qub (surah Yusuf ayat 83). Sang nabi mengadu hanya kepada Allah, gagah dihadapan dunia.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah

Puasa dan Sabar

Tausiyah Iman – 24 Mei 2016
 
Membiasakan diri dan mendidik jiwa untuk bertaqwa  merupakan hikmah terbesar dari puasa Ramadhan. Meninggalkan yang sebenarnya dibolehkan terlebih lagi yang terlarang.
Semua dilakukan semata-mata patuh terhadap perintah Allah SWT dan berharap masuk surga dari pintu ar-royyan yang telah dijanjikan.
Sabar dalam melaksanakan perintah puasa akan mempermudah untuk meninggalkan segala yang haram.
Bukankah sabda Rasulullah SAW :
“ash-shiyam nisfus shobri, puasa itu setengah dari kesabaran” (HR. Ibnu Majah).
(Baca juga: Tanda Orang Tertipu)
Ustadz Adi Setiawan, Lc., MEI
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Bersabar di Jalan Dakwah (1)

Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
 
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!