0878 8077 4762 [email protected]

Adakah Waris untuk Saudara Perempuan yang Sudah Meninggal?

Assalamualaikum wr. wb. Ayah saya meninggal 2 bulan yang lalu, sedangkan ayah meninggalkan seorang istri yaitu ibu saya dan saya memiliki 2 saudara perempuan yaitu kakak dan adik saya. Jadi ayah memiliki 3 anak perempuan yang ditinggalkan, tetapi ayah masih memiliki ibu (nenek) yang masih hidup dan saudara 1 laki-laki dan 4 saudara perempuan salah satu saudara perempuannya sudah meninggal lebih dulu dari ayah. Yang saya tanyakan :

  1. Bagaimana cara pembagian harta untuk ibu (istri) dan ketiga anak perempuannya
  2. Bagaimana pembagian harta kepada (nenek) ibu dari ayah dan saudaranya 1 laki laki 4 saudara perempuan yang salah satunya sudah meninggal, dan semua saudara ayah masing-masing sudah berkeluarga
  3. Dan apakah saudara perempuannya yang sudah meninggal tetap mendapat hak waris dan siapa yang berhak menerimanya

Terimakasih
Wassalamualaikum wr. wb.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Pertama-tama perlu diketahui bahwa yang berhak mendapat waris adalah ahli waris yang masih hidup ketika almarhum wafat; bukan yang sudah mati sebelum almarhum. Karena itu saudara perempuan almarhum yang sudah meninggal terlebih dulu tidak mendapatkan waris.
Dalam hal ini yang berhak mendapat waris adalah isterinya, anak perempuannya, ibunya, serta saudara laki-lakinya dan saudara perempuannya. Perhitungannya berdasarkan surat an-Nisa: 11-12 adalah sebagai berikut:

  • Isteri almarhum mendapatkan 1/8
  • 3 Anak perempuan mendapatkan 2/3 (karena tidak ada anak laki-laki)
  • Ibu mendapatkan 1/6 (karena ada anak).

Sisanya dibagi di antara saudara laki-laki dan saudara perempuan almarhum dengan pembagian saudara laki-laki mendapatkan dua bagian saudara perempuan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Ringkasan Taklim : Tahan Terhadap Gangguan

Ringkasan Kajian Kitab Riyadhus Shalihin Bab Ke-76
Tahan Terhadap Gangguan
Ahad, 21 Februari 2016
Pukul 18.00-19.30
Di Majelis Taklim Al Iman, Jl. Kebagusan Raya No.66, Jakarta Selatan
Bersama:
Ustadz Rasyid Bakhabazy, Lc
 
Tahan terhadap gangguan merupakan salah satu ciri dari orang-orang yang bertakwa.
Kesabaran dalan menghadapi gangguan merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Kalaupun ada yang ingin membalas perlakuan buruk orang lain kepada dia, maka balaslah dengan balasan yang setimpal, jangan sampai melebihi perlakuan buruknya kepada dia.
Ada tiga tingkatan dalam menahan gangguan;
1) Menahan amarah,
2) Memaafkan kesalahan orang lain, dan
3) Membalas pelakuan buruknya dengan kebaikan.
Diantara contoh yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam bersabar terhadap gangguan ialah sikap beliau terhadap penduduk Tha’if yang melempari beliau dengan batu.
Tahan terhadap gangguan merupakan salah satu cara dalam mensukseskan program dakwah.
Dikisahkan bahwa rumah Hasan Al Bashri di bagian atapnya ada yang bocor. Air yang menetes ke dalam rumahnya bersumber dari saluran air kotoran dari rumah tetangganya yang beragama Nasrani. Setiap hari beliau menampung tetesan air tersebut dan membuangnya. Hal itu dilakukannya selama 20 tahun.
Hingga suatu saat Hasan Al Bashri jatuh sakit, dan tetangganya menjenguknya. Ketika masuk ke dalam rumahnya, tetangga itu melihat tetesan air tersebut dan ia pun baru tahu bahwa itu bersumber dari rumahnya. Ia pun bertanya kepada Hasan Al Bashri: “Sejak kapan engkau melakukan ini?” Beliau menjawab: “20 tahun.” Ia pun takjub dan akhirnya masuk Islam.
Orang yang terus-menerus melakukan keburukan sama seperti orang yang memakan abu dari hasil pembakaran yang ia lakukan.
***
Majelis Ta’lim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
Kunjungi AlimanCenter.com untuk mendapatkan info, ringkasan materi dan download gratis audio/video kajian setiap pekannya.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Bagaimana Hukumnya Menonton Film Porno ?

Assalamu’alaikum wr.wb. Ustadz saya mau nanya, kebiasaan saya suka menonton video porno tetapi bukan video porno biasa, video porno yang dimaksud adalah video yang diperankan Lelaki dan Lelaki (gay). Apakah saya berdosa pak ustadz ?! Bagaimana saya harus berhenti melakukan kebiasaan tersebut ?! Terima Kasih, Mohon penjelasan yang rinci
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Menonton video atau film porno yang berisi adegan atau hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan atau perempuan jelas dilarang oleh agama. Sebab ia termasuk perbuatan zina; minimal zina mata, dan bisa memicu bagi terjadinya zina yang sebenarnya. Karena itu Allah befirman, “Janganlah kalian mendekati zina, sebab ia adalah perbuatan yang keji dan sesat.” (QS al-Isra: 32).
Semakin mengikuti rasa penasaran dan keinginan untuk melihat film semacam itu akan semakin membuat jiwa ini tertawan, gelisah, resah, dan tidak tenang. Kenikmatan palsu sesaat berakibat pada banyak akibat negatif yang berbahaya, entah di dunia apalagi di akhirat.
Orang yang senang menonton film semacam itu syaraf otaknya akan rusak, jiwanya dihantui oleh kesalahan, syahwatnya akan terus membara, dan akhirnya melakukan tindakan yang tidak dibenarkan.
Karena itu kebiasaan tersebut harus segera dihentikan dengan sejumlah cara:

  1. Banyak ibadah dan zikir kepada Allah disertai doa agar diselamatkan dari bisikan setan.
  2. Membuang VCD tersebut atau menjauhi saluran yang berisi konten semacam itu.
  3. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan positif dan bermanfaat.
  4. Berteman dengan orang-orang baik serta selalu berada dalam lingkungan yang kondusif.
  5. Membaca buku-buku agama dan menghadiri majelis ilmu yang selalu mengingatkan kita kepada pengawasan dan neraka-Nya.

Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih

Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Saat ini, kurikulum ushul fiqih yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam masih berkutat dengan isu-isu pemikiran beberapa abad silam, sangat sedikit berbicara tentang isu-isu kontemporer. Literatur ushul fiqih kita lebih didominasi contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqh yang diajarkan tidak bisa menjawab dan merespon isu-isu pemikiran dan problem serta sejumlah kasus-kasus kontemporer yang terus bermunculan.
Kesenjangan ini pada gilirannya tidak mampu mengantar seorang akademisi kepada pemahaman metodologi istinbath yang benar terhadap problem kontemporer khususnya isu-isu pemikiran yang terus berkembang dan semakin kompleks. Akibatnya banyaknya kita temui produk produk pemikiran para akademisi kita yang aneh, asing dan jauh dari kaidah-kaidah istinbath (penggalian) hukum yang benar.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan isu-isu pemikiran kontemporer tidak boleh dibiarkan berlangsung. Kemandulan pada ushul fiqh dalam merespon isu pemikiran kontemporer akan membuka peluang pemikiran bahwa ushul fiqh tidak fungsional, tidak aplikatif dan tidak mampu berbicara pada kasus kasus tersebut, dan lebih jauh lagi muncul anggapan bahwa ushul fiqh hanya fasih berbicara masalah ritual peribadahan saja tetapi mandul ketika harus merespon isu-isu pemikiran kontemporer.
Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih
Neraca untuk menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya, semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan  keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[1].
Inilah kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[2].
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.
Referensi:
[1] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), h. 452

Ibu Meminta Jatah Waris Lebih, Bolehkah?

Assalamualaikum Wr. Wb,
Saya mau bertanya tentang warisan. Ayah saya wafat dan meninggalkan 1 buah rumah (hasil kerjanya, karena ibu saya tidak bekerja). Kami 5 bersaudara, 2 laki-laki dan 3 perempuan sudah berkeluarga dan ingin menjual rumah tersebut. Ibu ingin agar dia mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki karena dia yang paling lelah mengurus ayah yang sakit berkepanjangan sebelum wafatnya. Ayah saya wafat pada saat anak-anaknya masih duduk di bangku SMA, SMP dan SD.
Pertanyaan, apakah itu diperbolehkan dalam Islam?
Terimakasih. Waalaikumsalam Wr. Wb.
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Allah sudah memberikan ketetapan mengenai bagian masing-masing ahli waris secara sangat jelas. Di antaranya Allah befirman,
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga… (QS an-Nisa: 11)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu… (QS an-Nisa: 12)
Dari penjelasan ayat di atas maka dengan asumsi bahwa orang tua ayah sudah meninggal dunia, maka pembagian warisnya hanya untuk isteri, anak laki-laki dan anak perempuan. Yaitu:
Isteri mendapat seperdelapan karena ada anak. Sementara sisanya dibagi di antara anak dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak perempuan. Sehingga bila diprosentase:
Isteri: 12,50 %
2 anak laki-laki 50%
3 anak perempuan 37,50 %
Lalu bagaimana kalau isteri ayah (ibu) meminta bagian lebih? Hal itu tidak dibenarkan. Hanya saja, ada jalan keluar lain. Yaitu karena melihat kondisi ibu yang telah ditinggal pergi ayah misalnya dan telah banyak berjasa kepada keluarga termasuk anak-anak, maka sangat baik kalau kemudian anak-anaknya sepakat memberikan sebagian jatah warisnya kepada ibu (sesuai dengan kondisi masing-masing). Jadi, bukan hak waris ibu yang ditambah. Tetapi semata-mata kerelaan anak untuk memberikan sebagian waris yang didapat kepada sang ibu.
Semoga Allah memberikan balasan terbaik kepada Anda semua. Amin
Wallahu a’lam
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini